Rabu, 12 Januari 2011
Kisruh Penjualan Tiket Final AFF, cerminan Kusutnya PSSI
para pengantri tiket sepakbola Final AFF 2010 di Gelora Bung Karno. Ribuan orang yang antre membeli tiket tidak puas dengan layanan PSSI terkait penjualan tiket yang tidak jelas juntrungannya.
Tidak hanya itu saja, harga tiket pun dinaikkan seenak udel oleh pihak penyelenggara tanpa ada alasan yang logis. Bahkan Pihak PSSI terkesan lepas tangan dan selalu mencari pembenaran diri sendiri.
Sejak penjualan tiket dibuka maka sejak itu kekisruhan terjadi. Ribuan pengantri yang mengular panjang untuk mendapatkan tiket final harus menelan kekecewaan. Bagaimana tidak kecewa, bila hanya dilayanai secara manual dengan jumlah panitia yang terbatas dan terkesan tidak profesional. Selain itu, jumlah tiket yang dijual pun tidak pasti. Para pengantri sempat berang ketika melihat ada seorang panitia yang kedapatan memberikan segepok tiket kepada seorang petugas keamanan lewat pintu belakang. Akibatnya bisa ditebak, anarkisme massa pun timbul yang mengakibatkan babak belurnya seorang petugas penjualan tiket.
Banyak pengantri tiket yang menanyakan jumlah kepastian tiket yang dijual di loket. Hal itu mengingat bila ada seribu pengantri dengan jatah masing-masing lima tiket maka baru akan ada lima ribu tiket yang terjual. Tapi antrian belum ada separuhnya, stok tiket di loket penjualan dinyatakan terjual habis. Padahal untuk kelas II dan III saja tersedia hampir 50.000 ribu tiket. Kemana tiket-tiket itu menguap?
PSSI yang memang terkenal tidak becus mengurus sepakbola nasional, ternyata juga sangat tidak peduli terhadap animo masyarakat yang ingin menonton pertandingan final sepakbola piala AFF 2010 di Geloar Bung Karno. Statemen para petinggi PSSI bahwa biaya yang dikeluarkan untuk pelaksanaan turnamen sepakbola ini masih belum tercover. Sehingga ada alasan untuk menaikan jumlah tiket. Namun ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono maupun Menpora Andi Malaranggeng meminta PSSI untuk menurunkan harga tiket, panitia pun terpaksa menurunkan harga tiket.
Padahal pemasukan dari iklan cukup besar. Salah satu stasiun televisi nasional dikabarkan menggelontorkan puluhan milyar rupiah untuk mendapatkan hak eksklusif penayangan piala AFF 2010. Tidak hanya itu saja, dari banyaknya banner iklan dalam stadion setiap pertandingan tentunya menjadi tolak ukur seberapa besar kocek uang yang masuk ke kantong PSSI.
Kisruhnya penjualan tiket memang menjadi cermin dari kusutnya PSSI dalam melakukan pembinaan olahraga sepakbola di tanah air. Selama ini para pengurus PSSI merasa paling tahu kemana sepakbola Indonesia harus dibawa. Bahkan para pengurus PSSI itu mengklaim bahwa naiknya prestasi tim nasional sepakbola merupakan prestasi kepengurusan PSSI era Nurdin Halid. Tapi agaknya publik, terutama pecandu sepakbola nasional tidak terima dengan klaim para pengurus PSSI. Perlawanan para penggila bola ini diekspresikan dengan beragam spanduk menuntut turunnya para petinggi PSSI dan koor Nurdin Turun selama laga pertandingan sepakbola AFF di gelar di tanah air.
Di sisi lain, liga sepakbola yang dilaksanakan PSSI bukannya menjadi ajang pembinaan dan pengembangan sepakbola nasional, tapi malahan menjadi ajang unjuk perkelahian baik antara pemain maupun juga suporter sepakbola. Bahkan sudah menjadi sebuah ritual, bila ada pertandingan dala liga sepakbola yang dilaksanakan PSSI, bila belum berkelahi maka belum afdol.
Niat beberpa pihak yang akan menyelenggarakan Liga Primer Indonesia (LPI), oleh para pengurus PSSI dianggap sebagai pembangkangan terhadap keputusan PSSI. Tanpa tedeng aling, PSSI mengeluarakan blaklist bagi setiap klub maupun pemain yang berlaga di LPI tidak boleh main dalam laga sepakbola yang diselenggaran oleh PSSI.
Manajemen dan administrasi PSSI yang tidak pernah transparan dan dikuasai segelintir orang yang cari makan membuat sepakbola nasional harus mengalami perkerdilan. PSSI tidak lagi menerapkan pembinaan sepakbola untuk sepakbola itu sendiri. PSSI hanya menjadikan sepakbola sebagai komoditas guna meraup uang sebanyak-banyaknya dari berbagai kesempatan. Tidak peduli prestasi sepakbola nasional melorot asalkan kocek uang masuk ke kantong para pengurus PSSI maka tidak menjadi persoalan.
Sikap kekanakan-kanakan PSSI iitu sangat bertolak belakang dengan umur para pengurus PSSI yang sudah tua. Bukannya semakin tua semakin bijaksana, justru semakin tua semakin berpolah seperti anak kecil yang rebutan mainan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar